Pasar Baru Jakarta Sepi yang Menyisakan Kenangan dan Harapan
mengangkat fenomena sepinya Pasar Baru, pusat perbelanjaan legendaris di Jakarta Pusat. Dulu, kawasan ini tak ubahnya jantung ekonomi yang sibuk, namun kini, suasana di sana terasa begitu kontras. Pasar yang pernah ramai dengan aktivitas transaksi kini seperti tempat yang nyaris terlupakan. Banyak toko yang tutup, beberapa ruko bahkan menawarkan diri untuk dijual atau disewakan, dan yang masih buka hanya bisa berharap ada pengunjung yang datang. Bahkan, sejumlah media menggambarkan kondisi pasar seperti kuburan, kosong dan suram.
Pasar Baru, yang dulu begitu ramai dan penuh semangat pada tahun 1980-an hingga 1990-an, kini tinggal kenangan. Dulu, pasar ini adalah tempat yang hidup, penuh dengan suara pramuniaga yang menawarkan barang dagangan lewat pengeras suara, menyemarakkan suasana layaknya sebuah festival belanja mini, mirip dengan “Jakarta Fair”. Pada awal 2000-an, meski sudah mulai sepi, pasar ini masih menunjukkan taringnya. Kendaraan yang melintas mencari tempat parkir masih terlihat banyak, dan roda ekonomi masih berputar, meski tidak semeriah dulu.
Baca Juga : Langkah Strategis Kurangi Ketergantungan Listrik Eksternal
Namun, kondisi tersebut mulai berubah drastis, terutama setelah pandemi melanda. Pada kunjungan saya beberapa waktu lalu, yang lebih seperti berkunjung untuk “bernostalgia”, saya merasakan betul perbedaan yang mencolok. Pasar Baru kini bagaikan kota yang terjebak dalam waktu, berhenti berkembang, dan tertinggal jauh dari pusat-pusat perbelanjaan lainnya di Jakarta.
Salah satu tempat yang saya kunjungi adalah toko Gramedia di jalan Pintu Air, yang kini hampir kosong. Hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat, sementara kasir tampak tidak terjaga, hanya ada satu karyawan yang sibuk merapikan buku di rak. Rasanya sangat miris, mengingat dulu saya sering menghabiskan waktu berlama-lama di toko buku ini, sambil membaca buku dan menikmati suasana yang ramai dengan pengunjung.
Tidak jauh dari Gramedia, saya melanjutkan langkah ke arah jalan Pasar Baru yang mengarah ke jalan Kelinci. Di sana, saya menemukan banyak toko yang sepi pengunjung. Saya sempat memasuki toko sepatu yang juga nyaris kosong, hanya ada dua penjaga toko yang terlihat menunggu pengunjung. Suara lagu Pance Pondaag dan Roxette yang mengalun lembut seakan membawa saya kembali ke tahun 1980-an dan 1990-an, saat Pasar Baru sedang berada di puncak kejayaannya. Waktu seolah melambat, dan saya sejenak terhanyut dalam kenangan masa lalu, di mana pasar ini dipenuhi orang yang sibuk berbelanja.
Namun, meski banyak toko yang sepi, masih ada sedikit harapan di beberapa sudut Pasar Baru. Tempat makan seperti Bakmi Gang Kelinci, Bakmi Aboen, dan Cakwe Ko Atek masih ramai dikunjungi, menawarkan sedikit oase di tengah kesunyian pasar. Ketika saya melangkah ke arah Jalan Samanhudi, Harco Pasar Baru dan Metro Atom, saya masih menemukan beberapa keramaian. Meski tidak sepadat dulu, setidaknya ada tanda-tanda bahwa kehidupan masih ada di sana.
Pemandangan toko-toko yang tutup dan sepi, bahkan dengan harga obralan sandal dan sepatu seharga lima puluh ribu rupiah, memang menyedihkan. Ini tentu berbeda dengan mal-mal modern yang selalu ramai, bahkan hanya untuk sekadar melihat-lihat. Namun, meski Pasar Baru kini terperosok dalam sepi, ia tetap menjadi bagian penting dari sejarah Jakarta, sebuah tempat yang mengingatkan kita pada masa lalu yang penuh warna. Pasar Baru mungkin telah kehilangan sebagian besar pengunjungnya, tetapi kenangan tentang masa kejayaannya tetap hidup.
Semoga suatu hari nanti, Pasar Baru bisa kembali bangkit. Tidak hanya sebagai tempat berbelanja, tetapi juga sebagai simbol ketahanan dan perubahan kota Jakarta yang terus berkembang.